Update 13:39 - May 05, 2025
A. UMUM
Tantangan perekonomian global sejak awal 2025 memberikan dampak terhadap perusahaan-perusahaan di Indonesia. Kondisi ini berujung pada gelombang pemutusan hubungan kerja (“PHK”) yang dilakukan sejumlah perusahaan.
Mengutip Situs Satudata Ketenagakerjaan Republik Indonesia (“Kemnaker”), sebanyak 18.610 orang mengalami PHK selama periode Januari-Februari 2025. Dari jumlah ini, 57,37% merupakan jumlah PHK yang terjadi di Jawa Tengah, menjadikannya yang tertinggi dari jumlah PHK terlaporkan[1].
B. EFISIENSI KARENA PERUSAHAAN MENGALAMI KERUGIAN
Mengacu pada Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana diubah terakhir kali melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (“UU Ketenagakerjaan”), PHK merupakan pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang menyebabkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dengan pengusaha.
Namun, PHK tidak dapat dilaksanakan tanpa dasar atau alasan yang jelas. Terlebih, hal ini telah diatur secara khusus melalui Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja (“PP 35/2021”).
Selanjutnya, dalam konteks efisiensi, salah satu alasan dimungkinkannya PHK tercantum dalam Pasal 36 huruf b juncto Pasal 43 ayat (1) PP 35/2021. Menurut pasal ini, perusahaan dimungkinkan untuk melakukan PHK dalam rangka efisiensi karena perusahaan mengalami kerugian.
Kerugian yang dialami oleh perusahaan dapat dibuktikan melalui hasil audit internal atau eksternal selaras dengan penjelasan Pasal 43 ayat (1) PP 35/2021 sebagai berikut:
“Perusahaan mengalami kerugian dapat dibuktikan antara lain berdasarkan hasil audit internal atau audit eksternal.”
Sehingga dengan mengacu pada ketentuan Pasal 36 huruf b juncto Pasal 43 ayat (1) PP 35/2021 tersebut di atas, secara prinsip alasan PHK oleh perusahaan dalam rangka efisiensi karena perusahaan mengalami kerugian diperbolehkan, namun dengan tetap memenuhi sejumlah hak pekerja/buruh dengan ketentuan sebagai berikut:
Pasal 36 huruf b PP 35/2021
“Pemutusan Hubungan Kerja dapat terjadi karena alasan:
b. Perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan Perusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan Perusahaan yang disebabkan Perusahaan mengalami kerugian;”
Pasal 43 ayat (1) PP 35/2021
“(1) Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasan Perusahaan melakukan efisiensi yang disebabkan Perusahaan mengalami kerugian maka Pekerja/Buruh berhak atas:
1. uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2);
2. uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); dan
3. uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4).”
Penetapan hak untuk pekerja/buruh yang terdampak PHK imbas efisiensi juga perlu memperhatikan sejumlah faktor. Salah satunya, ketentuan masa kerja karyawan untuk menentukan jumlah uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja, juga hal-hal yang dikategorikan sebagai uang penggantian hak yang ditetapkan dalam Pasal 156 UU Ketenagakerjaan juncto Pasal 40 PP 35/2021.
Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan juncto Pasal 40 ayat (2) PP 35/2021
“(2) Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan Upah;
2. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan Upah;
3. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan Upah;
4. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan Upah;
5. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan Upah;
6. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan Upah;
7. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan Upah;
8. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan Upah; dan
9. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan Upah.”
Pasal 156 ayat (3) UU Ketenagakerjaan juncto Pasal 40 ayat (3) PP 35/2021
“(3)Uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan Upah;
2. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan Upah;
3. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan Upah;
4. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan Upah;
5. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan Upah;
6. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan Upah;
7. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan Upah; dan
8. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan Upah.”
Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan juncto Pasal 40 ayat (4) PP 35/2021
“(4)Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
1. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
2. biaya atau ongkos pulang untuk Pekerja/Buruh dan keluarganya ke tempat dimana Pekerja/Buruh diterima bekerja; dan
3. hal-hal lain yang ditetapkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.”
Pada 1 Desember 2023, Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melakukan permohonan uji materil (judicial review) terhadap beberapa pasal dalam UU Ketenagakerjaan kepada Mahkamah Konstitusi, yang kemudian diputus melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023 (“Putusan MK 168/2023”).
Sejak dikeluarkannya Putusan MK 168/2023, ketentuan berkaitan penentuan nilai Uang Pesangon sebagaimana ditetapkan pada Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan tersebut di atas telah ditetapkan melalui amar putusan butir 22 Putusan MK 168/2023.
Butir 22 Putusan MK 168/2023 menetapkan bahwa frasa “diberikan dengan ketentuan sebagai berikut” dalam Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “paling sedikit”. Dengan adanya MK 168/2023, dapat diartikan bahwa pemberian uang pesangon kepada pekerja/buruh dapat ditentukan lebih dari nilai yang ditetapkan oleh undang-undang.
C. TINDAKAN PENCEGAHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Guna menghadapi tantangan perkonomian yang tidak stabil dan menjaga kelangsungan usaha, pengusaha kerap melakukan tindakan-tindakan efisiensi biaya yang salah satunya berupa PHK terhadap para pekerja/buruh. Terlepas dari hal itu, Pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan secara prinsip mengamanatkan agar pengusaha, pekerja/buruh dan juga pemerintah untuk mengupayakan secara maksimal agar PHK tidak terjadi.
Selaras dengan amanat Pasal 151 UU Ketenagakerjaan, terdapat acuan upaya atau langkah alternatif lain yang dilakukan terlebih dahulu sebelum PHK dilaksanakan sebagai upaya terakhir, sebagaimana disebutkan dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 Tahun 2004 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal (“SE 907/2004”) dan Nomor SE.643/MEN/PHI-PPHI/IX/2005 Tahun 2005 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) (“SE 643/2005”). Langkah alternatif tersebut adalah sebagai berikut:
SE 907/2004
1. mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya tingkat manajer dan direktur;
2. mengurangi shift;
3. membatasi/menghapuskan kerja lembur;
4. mengurangi jam kerja;
5. mengurangi hari kerja;
6. meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu;
7. tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya;
8. memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat.
SE 643/2004
1. melakukan efisiensi biaya produksi;
2. mengurangi upah pekerja/buruh di tingkat manajerial;
3. mengurangi waktu kerja lembur;
4. menawarkan kesempatan pensiun dini bagi pekerja/buruh yang sudah memenuhi syarat;
5. merumahkan untuk sementara waktu pekerja/buruh secara bergantian.
D. POTENSI TIMBULNYA PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Pelaksanaan PHK praktiknya tidak selalu berjalan mulus dan tidak jarang menimbulkan perselisihan antara perusahaan dengan pekerja/buruh yang terdampak. Ini dikenal sebagai perselisihan hubungan industrial dalam bentuk perselisihan pemutusan hubungan kerja (“Perselisihan PHK”) sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”).
Perselisihan PHK salah satunya dapat timbul jika pekerja/buruh melakukan penolakan terhadap pemberitahuan PHK yang disampaikan oleh perusahaan. Perbedaan pendapat atas PHK antara perusahaan dan pekerja/buruh harus diselesaikan melalui tahapan perselisihan hubungan industrial yaitu perundingan bipartit, perundingan tripartit hingga pengajuan gugatan melalui Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana diamanatkan oleh UU PPHI maupun hingga tahapan kasasi di Mahkamah Agung.
Selama proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial, baik perusahaan maupun pekerja/buruh tetap wajib untuk melaksanakan kewajibannya masing-masing sehingga secara prinsip perusahaan wajib tetap membayarkan upah dan hak para pekerja/buruh dan pekerja/buruh tetap wajib untuk melaksanakan pekerjaan sebagaimana diamanatkan melalui Pasal 157A UU Ketenagakerjaan.
Mengacu pada amar putusan Mahkamah Konstitusi butir 21 pada Putusan MK 168/2023, frasa “dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai tingkatannya” dalam Pasal 157A ayat (3) UU Ketenagakerjaan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “sampai berakhirnya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang PPHI”.
Artinya, selama proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial, pengusaha tetap wajib membayarkan upah pekerja/buruh sampai berakhirnya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap. Mengacu pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku, secara prinsip terdapat beberapa tahapan penyelesaian perselisihan PHK yang utamanya diatur dalam UU PPHI sebagai berikut:
1. dicapainya kesepakatan antara para pihak yang berselisih melalui pembuatan Perjanjian Bersama pada tahap bipartit (Pasal 7 ayat (1) UU PPHI);
2. dicapainya kesepakatan antara para pihak yang berselisih melalui pembuatan Perjanjian Bersama pada tahap tripartit, dengan disaksikan oleh mediator jika tripartit ditempuh melalui jalur mediasi (Pasal 13 ayat (1) UU PPHI) atau oleh konsiliator jika tripartit ditempuh melalui jalur konsiliasi (Pasal 23 ayat (1) UU PPHI); atau
3. dikeluarkannya putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) oleh Pengadilan Hubungan Industrial atau Mahkamah Agung (Pasal 103 UUPHI dan Pasal 115 UU PPHI).
Sehingga, dapat disimpulkan, dalam hal terjadinya perselisihan PHK antara pengusaha dan pekerja/buruh, kewajiban masing-masing pihak masih perlu dilakukan hingga adanya penyelesaian pada tahap bipartit, tripartit atau adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
E. PEMBAYARAN UPAH PROSES
Mengacu pada amar putusan Mahkamah Konstitusi butir 21 pada Putusan MK 168/2023 pada Pasal 157A UU Ketenagakerjaan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka secara prinsip kewajiban pembayaran upah oleh pengusaha tetap ada hingga berakhirnya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap. Namun secara praktik, tidak dapat diprediksi atau ditentukan secara pasti jangka waktu penyelesaian perselisihan hubungan industrial antara pengusaha dan pekerja/buruh yang dibutuhkan, sehingga mengacu pada ketentuan Pasal 157A UU Ketenagakerjaan tersebut perhitungan upah proses akan ditentukan selama proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial berlangsung.
Namun demikian, terdapat pedoman pembayaran upah proses pada Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (“SEMA 3/2015”). Mahkamah Agung mengeluarkan pedoman yang menggambarkan bahwa secara prinsip pembayaran upah proses adalah selama 6 (enam) bulan sebagaimana dikutip dari Rumusan Hukum Kamar Perdata butir 2 huruf f SEMA 3/2015 sebagai berikut:
“Pasca Putusan MK Nomor 37/PUU-IX/2011, tertanggal 19 September 2011 terkait dengan upah proses maka isi amar putusan adalah MENGHUKUM PENGUSAHA MEMBAYAR UPAH PROSES SELAMA 6 BULAN. Kelebihan waktu dalam proses PHI sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial bukan lagi menjadi tanggung jawab para pihak.”
Dengan terbitnya Putusan MK No. 168/PUU-XXI/2023, muncul potensi ambiguitas terkait pengenaan upah proses, yakni apakah masih mengacu pada batas maksimal 6 (enam) bulan sebagaimana diatur dalam SEMA No. 3 Tahun 2015, atau dapat melebihi batas tersebut mengingat Putusan MK No. 168/PUU-XXI/2023 menghendaki pembayaran upah proses selama berlangsungnya penyelesaian perselisihan hubungan industrial, yang pada praktiknya dapat memakan waktu lebih dari 6 (enam) bulan.
Oleh karena itu, ditengah ketidakpastian perekonomian global saat ini, apabila PHK adalah opsi yang dilakukan oleh pengusaha guna menjaga kelangsungan usaha, maka pengusaha dalam pelaksanaannya tetap wajib memperhatikan dan mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dan juga menjamin pemenuhan hak pekerja/buruh.