Update 20:13 - May 14, 2018
Hal ini dilakukan untuk mengetahui lebih jauh tentang profil dari pihak yang akan diajak bekerjasama.
Dalam suatu kontrak bisnis yang mensyaratkan penyelesaian sengketa dengan menggunakan jalur arbitrase, para pihak dianjurkan untuk lebih cermat sebelum memutuskan melanjutkan sengketa yang dihadapi ke jalur arbitrase. Sebagian orang diketahui enggan menempuh jalur arbitrase dikarenakan sejumlah anggapan seperti biaya mahal yang harus dikeluarkan untuk membayar pengacara dan ahli yang dihadirkan. Selain itu lazim diketahui bahwa proses arbitrase sering memakan waktu yang lama sampai sebuah keputusan arbitrase itu keluar.
Untuk itu, penting untuk mengatahui hal-hal yang perlu diperhatikan oleh pihak yang bersengketa sebelum mengajukan arbitrase sehingga prosesnya tidak hanya menghemat waktu tapi juga menghemat biaya tentunya. Ada 5 hal yang perlu diperhatikan, pertama, penting untuk mengetahui kapan para pihak hendak berarbitrase. Hal ini tentu menyangkut keuangan.
“Apakah kita memiliki pendanaan yang cukup untuk kita proses ke arbitrase, karena kalau tidak ya harus dipikirkan apakah bisa dilanjutkan atau tidak,” terang partner pada Kantor Hukum Harvardy, Marieta & Mauren (HMM), Harvardy M Iqbal kepada hukumonline, Kamis (23/4), di Jakarta.
Menurut Harvardy, untuk setiap kasus yang akan dimajukan ke arbitrase, namun menemukan problem pendanaan seperti yang disebutkan, klien dapat mempertimbangkan alternatif yang dapat meringankan pada proses penyelesaian fee. Selain itu, perlu diperhitungkan kembali nilai dari kasus yang akan diarbitrasekan. Apabila nilai sebuah kasus dirasa tidak terlalu signifikan, mesti dipertimbangkan kembali perlu tidaknya arbitrase.
“Karena ketika arbitrase kita akan keluar uang lagi kan dan belum tentu ketika putusannya keluar kita menang. Belum tentu kita bisa langsung dapat pengembalian, jadi harus benar-benar dilihat bahwa value-nya itu juga signifikan untuk maju ke arbitrase,” jelas Harvardy.
Kemudian yang kedua adalah tentang persiapan sebelum mengajukan pemohonan untuk abitrase. Menurut Harvardy, faktor kesiapan seringkali mempengaruhi biaya dari sebuah arbitrase. Proses persiapan menuju ke arbitrase sendiri, idealnya menghabiskan waktu 1 sampai 2 bulan. Karena dalam jangka waktu tersebut, biasanya diisi dengan diskusi antara klien dengan lawyer, fact finding, pemeriksaan dokumen, baru selanjutnya pembuatan gugatan yang akan diajukan.
Menurut Harvardy, dalam praktiknya, terkadang proses persiapan tersebut memakan waktu sampai 6 bulan. Hal ini dikarenakan kurangnya dukungan teknis dari klien terhadap kebutuhan lawyer atas kronologi persoalan dan juga dokumentasi yang dibutuhkan.
“Jadi sebenarnya pada saat persiapan ini penting untuk in–house counsel untuk mempersiapkan kronologinya, dokumen-dokumen pendukungnya, jadi ketika kita dikasih perkara, ini kronologinya, ini dokumennya, sehingga akan mempermudah dan mempercepat proses pengajuan permohonan arbitrase,” terangnya.
Apabila persiapan dokumentasi klien tidak memadai, maka hal selanjutnya yang mesti dilakukan adalah due dilligence. Hal ini menjadi penting untuk menentukan lanjut tidaknya persiapan arbitrase ke tahap pengajuan. “Kita harus periksa semua dokumen, ada relevansinya apa gak dengan perkara. Kalau itu tidak ada relevansinya ya buang-buang waktu, jadi gak efisien, jadi gak efektif,” terang Harvardy.
Kemudian yang ketiga adalah pemilihan arbiter. Saat memilih seorang arbiter, perlu diperhatikan agar antara klien dengan arbiter tidak terdapat konflik kepentingan. Apabila arbiter yang ditunjuk memiliki konflik kepentingan dengan klien, akan menghambat proses penyelesaian sengketa yang dihadapi.
“Misalnya arbiter itu mantan komisaris kita meskipun sudah sepuluh tahun yang lalu, kemudian lawan tahu, lawan akan keberatan, nah di saat keberatan itu diajukan, nanti ada proses yang lama lagi,” terang Harvardy.
Kemudian yang keempat dan kelima adalah penentuan saksi dan ahli. Perlu digarisbawahi bahwa, tidak setiap orang dapat dijadikan saksi dalam perkara tersebut dan tidak setiap perkara atau aspek dalam perkara tersebut membutuhkan ahli.
Soal saksi misalnya, perlu diperhatikan hal-hal apa saja yang dibutuhkan kesaksian. Ketepatan dalam menunjuk saksi akan berdampak terhadap efektifitas jalannya proses arbitrase. Tidak perlu menghadirkan saksi dalam jumlah yang banyak agar proses arbitrase tidak semakin lama.
Kemudian terkait ahli. Menurut Harvardy, tidak semua perkara memubuthkan ahli. “Kalau memang perkaranya sudah bagus, terus faktanya sudah ada, seharusnya klien dan lawyernya bisa pede-pede aja. Gak perlu kita bergantung pada keahlian seseorang, kalau kita punya fakta, punya dokumen, punya posisi yang kuat,” ujarnya.
Menurut Harvardy, paradigma orang yang berperkara adalah, dengan semakin banyak menghadirkan ahli, maka akan semakin kuat dalam proses pemenangan arbitrase. Seharusnya yang diperhatikan adalah, kehadiran seorang ahli hanya untuk memperkuat aspek-aspek teknis perkara yang secara keilmuan tidak dimiliki oleh seorang arbiter dengan latar belakang pendidikan hukum.
“Karena ahli gak murah, ahli akan menambah biaya dan itu kadang klien kita gak siap, karena dia pikir pengeluaran itu hanya untuk lawyer,” ujar Harvardy.
Untuk itu, dalam rangka memenuhi kebutuhan arbitrase yang berbenturan dengan kesiapan pendanaan, Harvardy menyebutkan adanya kemungkinan pembiayaan perkara dengan melibatkan orang ketiga (Third Party Funding). Menurut dia, Third party Funding tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
Hal ini diperkuat dengan keberadaan persoalan fee pengacara, sebenarnya adalah urusan privat. Hal berbeda dengan di luar negeri. Menurut Harvardy, pengadilan di Amerika Serikat cukup menaruh concern terhadap Third Party Funding karena terkadang hal ini digunakan oleh beberapa pihak untuk menjatuhkan lawan bisnisnya.
Namun sebenarnya, substansi lain dari Third Party Funding adalah untuk membantu perkara klien yang tidak memiliki kecukupan dana sehingga bisa meminta bantuan kepada orang lain, bahkan kepada pengacaranya. “Jadi lawyernya sendiri yang mensponsori, untuk biaya arbitrase, untuk biaya ahli, itu semua di-cover sama lawyernya, dan nanti ketika menang akan dikembalikan dan ada sukses fee nya,” terang Harvardy.
Pada kesempatan yang sama, Partner HMM, Sylvia Mauren, mengingatkan tentang pentingnya mengantisipasi di awal agar tidak sampai terjadi sengketa dalam sebuah kontrak bisnis. Sylvia menekankan akan pentingnya penilaian internal dari suatu perusahaan saat hendak membangun kesepakatan kerja dengan pihak lain.
Hal ini dilakukan untuk mengetahui lebih jauh tentang profil dari pihak yang akan diajak bekerjasama. Sylvia mengingatkan agar penggunaan bahasa-bahasa hukum dalam sebuah perjanjian kerjasama haruslah jelas dan tidak ambigu. Hal ini bertujuan agar meminimalisir adanya kemungkinan terjadi sengketa dikemudian hari.
Sementara Partner HMM yang lain, Windri Marieta, kepada hukumonline, mengatakan bahwa Indonesia saat ini telah memperlihatkan trend positif tentang persepsi sebagai negara yang ramah terhadap arbitrase. Windri mengacu kepada data statistik di tahun 2015 yang mengabulkan seluruh permohonan eksekuator atas putusan arbitrase internasional yang didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal ini mengikis pandangan dunia internasional yang melabeli Indonesia sebagai unfriendly arbitration country.
Namun Windri mengingatkan agar pemerintah secepatnya mengubah Undang-Undang Arbitrase yang ada saat ini. Hal itu dikarenakan UU Arbitrase saat ini belum mengadopsi model hukum yang diatur oleh UNCITRAL. Dengan mengadopsi model hukum arbitrase yang sesuai dengan ketentuan UNCITRAL, terjadi harmonisasi aturan arbitrase yang dimiliki Indonesia dengan negara-negara lain di dunia.
“UNCITRAL Model Law adalah draf yang secara internasional banyak diadopsi oleh negara-negara, agar terjadi harmonisasi jadi mungkin sudah saatnya Pemerintah mempertimbangkan untuk mengamandemen UU Arbitrase Indonesia dan mungkin mengadopsi dari UNCITRAL Model Law,” pungkas Windri.