Tanggung Jawab Hukum Fintech P2P Lending Ketika Debitor Gagal Bayar

Update 11:14 - September 27, 2024

Pendahuluan

Perkembangan teknologi dan kebutuhan akan pinjaman dana melahirkan industri Fintech peer to peer lending (Fintech P2P lending). Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per tanggal 12 Juli 2024, menunjukkan terdapat 98 perusahaan Fintech P2P lending yang memiliki ijin. Per Februari 2024, Fintech P2P lending telah menyalurkan dana sebesar Rp. 61,09 triliun. Di balik angka tersebut, terdapat masalah kredit macet yang sering dialami Fintech P2P lending. Menurut data OJK, pada bulan Februari 2024, angka kredit macet Fintech P2P lending mencapai Rp. 1,79 Triliun atau sebesar 2,95%. Ketidakmampuan membayar ini kemudian sering dikenal dengan istilah ‘gagal bayar’.

Dalam beberapa kasus terjadi ‘gagal bayar’ berlanjut kepada perkara pidana dengan adanya laporan polisi. Misalnya, baru-baru ini kreditur atau pemberi pinjaman atau lender melaporkan Perusahaan Fintech P2P lending ke pihak kepolisian akibat dari debitur atau peminjam atau borrower dari Fintech P2P lending yang melakukan gagal bayar. Perusahaan Fintech P2P lending tersebut dilaporkan atas adanya dugaan tindak pidana penipuan dan atau penggelapan dan atau tindak pidana di bidang informasi dan transaksi elektronik dan atau tindak pidana pencucian uang.

Menarik untuk membahas mengenai perkara laporan polisi terhadap Fintech P2P lending akibat dari peristiwa gagal bayar. Artikel ini akan mendiskusikan dua pertanyaan mengenai tanggung jawab Fintech P2P lending dalam peristiwa gagal bayar. Pertama, bagaimana pertanggung jawaban hukum dari Fintech P2P lending dalam peristiwa gagal bayar? Kedua, apakah Fintech P2P lending dapat dimintai pertanggung jawaban hukum terutama di bidang hukum pidana dalam hal terjadi peristiwa gagal bayar?

 

Kedudukan Hukum dan Hubungan Hukum Fintech P2P Lending

Sebelum membahas dua pertanyaan di atas, penting untuk memahami kedudukan hukum Fintech P2P lending dan hubungan hukum dengan kreditor dan debitor. Hubungan hukum yang terjadi antara Fintech P2P lending, dengan kreditur dan debitur adalah hubungan perdata berdasarkan perjanjian. Dalam hal ini, kreditur merupakan seorang atau sekelompok orang pemilik dana yang hendak meminjamkan dana kepada debitur yang akan menggunakan dana untuk kepentingan tertentu, terutama kepentingan bisnis dan ekonomi. Keberadaan Fintech P2P lending merupakan perantara yang menghubungkan antara kreditur dengan debitur dalam kegiatan hukum ini. Fintech P2P lending membuat platform online yang menyediakan fasilitas bagi kreditur untuk memberikan pinjaman secara langsung kepada debitur dengan ‘nilai pengembalian’ lebih tinggi, di sisi lain debitur bisa mengajukan kredit secara langsung kepada kreditur dengan syarat yang lebih mudah dan proses yang lebih cepat dibandingkan ke lembaga keuangan konvensional.

Peraturan OJK No. 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (Peraturan OJK No. 10/POJK.05/2022) menegaskan hubungan hukum tersebut. Dalam peraturan ini, Fintech P2P lending merupakan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI). Pasal 30 Peraturan OJK No. 10/POJK.05/2022 mensyaratkan minimal adanya dua perjanjian dalam perbuatan hukum peminjaman dana melalui platform online milik Fintech P2P lending. Pertama, perjanjian antara kreditur dan debitur. Ini menjadi hubungan hukum yang utama atau pokok dalam perbuatan hukum ini. Fintech P2P lending bertindak sebagai penyelenggara untuk membuat butir-butir kesepakatan di antara kedua belah pihak tersebut untuk kemudian dituangkan dalam perjanjian (dokumen elektronik) serta menyalurkan dana dari kreditor kepada debitor. Kedua, perjanjian antara kreditur dengan Fintech P2P lending. Perjanjian ini berkaitan dengan kesepakatan pengelolaan dan penyaluran dana milik kreditor yang dilakukan oleh Fintech P2P lending.

Ketika debitur gagal bayar secara hukum akan mengakibatkan terjadinya wanprestasi. Dalam hal ini wanprestasi tersebut terhadap perjanjian antara kreditur dan debitur. Apakah dengan adanya wanprestasi dari debitur akan memiliki dampak hukum terhadap Fintech P2P lending? Untuk dapat menjawab hal tersebut, perlu dibahas mengenai tanggung jawab dari Fintech P2P lending tersebut.

 

Tanggung jawab Fintech P2P lending

Fintech P2P lending sebagai penyelenggara platform elektronik di bidang penyaluran dana memiliki dua tanggung jawab. Exante-liability atau pertanggung jawaban sebelum terjadinya suatu peristiwa, dan ex-post-liability yaitu tanggung jawab hukum untuk memulihkan keadaan yang telah dirugikan.

Pertama, exante-liability merupakan tanggung jawab untuk mematuhi semua ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Tanggung jawab ini berkaitan dengan adanya upaya pencegahan agar tidak terjadi suatu peristiwa yang merugikan atau membahayakan baik kepentingan kreditor maupun debitur. Peraturan OJK No. 10/POJK.05/2022 mengatur kewajiban Fintech P2P lending sebagai penyelenggara dalam perbuatan hukum peminjaman dana antara kreditor dengan debitur. Kewajiban ini antara lain melakukan penyaluran pendanaan produktif atau multiguna dari kreditor kepada debitur sesuai dengan profil pemberi dan penerima dana, memberikan batas maksimum pendanaan serta melakukan manajemen risiko sesuai dengan Peraturan OJK No. 10/POJK.05/2022 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, Fintech P2P lending juga bertanggung jawab sebagai penyelenggara sistem elektronik yang dikelolanya. Kewajiban tersebut terkait dengan penyimpan, menjaga kerahasiaan, keutuhan, ketersediaan data pribadi, data transaksi dan data pendanaan serta memastikan proses autentifikasi, verifikasi dan validasi, menjamin perolehan, penggunaan dan pemanfaatan terhadap data-data tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kegagalan terhadap pemenuhan kewajiban ini merupakan pelanggaran administratif yang dikenakan sanksi administratif.

Kedua, ex-post-liability yaitu tanggung jawab hukum terhadap kerugian baik akibat dari kelalaian maupun kesengajaan yang berakibat pada terjadinya kerugian baik debitur maupun kreditor. Tanggung jawab ini berupa tanggung jawab di bidang hukum perdata maupun pidana. Fintech P2P lending dapat dimintai pertanggung jawaban, ketika Fintech P2P lending tidak melakukan kewajibannya sebagai penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Peraturan OJK No. 10/POJK.05/2022 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga menyebabkan kerugian baik kepada kreditor atau debitur. Misalnya, Fintech P2P lending tidak memberikan semua informasi dan data yang lengkap dan benar kepada kreditur mengenai analisa manajemen risiko kepada kreditur. Apabila kreditur mengalami kerugian akibat hal ini, Fintech P2P lending memiliki tanggung jawab untuk memulihkan kerugian kreditor tersebut. Pertanggung jawaban perdata dapat dimintakan kepada Fintech P2P lending dengan mengajukan gugatan melawan hukum Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata untuk meminta ganti kerugian.  Sebaliknya apabila Fintech P2P lending telah memberikan semua informasi yang benar dan lengkap mengenai analisa manajemen risiko kepada kreditur dan terjadi peristiwa debitur gagal bayar, Fintech P2P lending tidak dapat dimintai pertanggung jawabannya.

Kedua tanggung jawab tersebut dapat dibebankan secara bersamaan. Fintech P2P lending bertanggung jawab apabila Fintech P2P lending tidak memenuhi kewajibannya sebagai penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Peraturan OJK No. 10/POJK.05/2022 dan peraturan undang-undangan lainnya. Terhadap pelanggaran ini Fintech P2P lendingdapat dikenakan sanksi administratif oleh OJK. Pada saat yang bersamaan, Fintech P2P lending bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi terhadap ketidakpatuhannya sehingga menyebabkan kerugian finansial bagi kreditor. Sebaliknya Fintech P2P lending tidak dapat dibebankan pertanggung jawaban apa pun selama telah mematuhi kewajibannya sebagai penyelenggara sesuai dengan Peraturan OJK No. 10/POJK.05/2022 dan peraturan undang-undangan. Termasuk apabila debitur gagal bayar.

 

Bisakah Fintech P2P Lending dibebankan Pertanggungjawaban Pidana?

Pertanyaan berikutnya berkaitan dengan maraknya laporan polisi terhadap Fintech P2P lending dapat dibenarkan ketika debitur gagal bayar yang merugikan kreditor. Apakah Fintech P2P lending dapat dimintai pertanggung jawaban pidananya terhadap adanya kerugian kreditor akibat dari debitur yang gagal bayar?

Dalam hukum pidana, subjek hukum dapat dibebankan pertanggung jawaban pidana apabila memenuhi dua hal. Pertama, subjek hukum memenuhi perbuatan tindak pidana yang dirumuskan dalam undang-undang. Perbuatan ini harus dilakukan dengan cara yang melawan hukum. Kedua, ada kesalahan pada diri pelaku sehingga ia dapat dimintai pertanggung jawaban pidana. Hal ini berkaitan dengan adanya niat jahat atau evil mind dari diri pelaku.

Fintech P2P lending memiliki tanggung jawab apabila sebagai penyelenggara ia melakukan perbuatan melawan hukum. Akan tetapi perlu dipahami bahwa konsep melawan hukum dalam hukum pidana berbeda dengan hukum perdata. Dalam hukum perdata perbuatan melawan hukum terkait dengan private wrong yaitu perbuatan tercela yang ditujukan kepada individu. Berbeda dengan melawan hukum dalam hukum pidana yang berkaitan dengan public wrong, yaitu perbuatan tercela terhadap nilai-nilai dan kepentingan yang menjadi perhatian bersama di masyarakat. Public wrong mensyaratkan adanya keseriusan karena perbuatan yang tercela tersebut harus menarik perhatian hukum sehingga tidak cukup hanya ada perbuatan tercela dalam lingkup hubungan antar pribadi. Di sisi lain, public wrong juga mensyaratkan adanya kerugian atau bahaya yang serius terhadap kepentingan individu dan masyarakat secara luas yang disebabkan dari perbuatan yang melanggar norma-norma. Ketika Fintech P2P lending sebagai penyelenggara melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan para kreditur, maka perbuatan ini masuk dalam lingkup private wrong.

Sebaliknya,  Fintech P2P lending memiliki tanggung jawab pidana apabila perbuatan yang melawan hukum (public wrong) tersebut dilakukan dengan adanya niat jahat. Artinya, sejak awal Fintech P2P lending juga memiliki pengetahuan bahwa perbuatannya yang tidak memenuhi ketentuan dalam Peraturan OJK No. 10/POJK.05/2022 dan peraturan undang-undangan lainnya merupakan suatu perbuatan yang tercela yang akan merugikan kreditor. Selain itu, Fintech P2P lending sebagai penyelenggara memiliki kehendak untuk melakukan perbuatan curang dalam yang bertujuan untuk merugikan kreditor dan menguntungkan diri sendiri atau pihak lain. Adanya kehendak dan pengetahuan tersebut merupakan perwujudan dari adanya kesengajaan untuk melakukan tindak pidana.

Adanya Perbuatan melawan hukum Fintech P2P lending terhadap kreditor merupakan lingkup dari private wrong dalam lingkup hukum perdata. Fintech P2P lending baru dapat dimintai pertanggung jawaban pidana apabila ada perbuatan Fintech P2P lending yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana dilakukan dengan cara melawan hukum (public wrong) dan dilakukan dengan niat jahat untuk merugikan kreditor dan menguntungkan Fintech P2P lending maupun pihak lainnya.

 

Penutup

Pada akhirnya Fintech P2P lending memiliki tanggung jawab hukum ketika debitur gagal bayar dan merugikan kreditur apabila terdapat keadaan-keadaan berikut. Pertama, Fintech P2P lending tidak memenuhi kewajibannya sebagai penyelenggara sebagaimana dimaksud Peraturan OJK No. 10/POJK.05/2022 dan peraturan undang-undangan lainnya. Dalam hal ini perbuatan Fintech P2P lending merupakan perbuatan melawan hukum (private wrong). Kreditor dapat melakukan gugatan perdata untuk menuntut ganti kerugian. Kedua,  Fintech P2P lending  sulit untuk dibebankan pertanggung jawaban pidana selama perbuatan Fintech P2P lending   tidak dilakukan dengan cara curang dan melawan hukum (public wrong) dan serta tidak ada niat jahat untuk merugikan kreditor dan menguntungkan Fintech P2P lending maupun pihak lainnya.

Artikel ini merupakan artikel pertama dari serangkaian seri artikel mengenai permasalahan hukum terkait dengan Fintech P2P lending. Pada artikel selanjutnya akan membahas mengenai tanggung jawab Perusahaan Asuransi dan Fintech P2P lending sebagai upaya untuk memitigasi risiko dalam peristiwa gagal bayar.

 

Dr. Vidya Prahassacitta, SH. MH. Merupakan Of Counsel – Marieta Mauren

Untuk pertanyaan lebih lanjut, bisa menghubungi info@marietamauren.id